-->

Jumat, 12 Desember 2025

Ngeriiih....! Realisi Target PAD 2025 terpuruk dibawah 70%, Purwakarta Krisis Integrasi Fiskal ?

Ngeriiih....! Realisi Target PAD 2025 terpuruk dibawah 70%, Purwakarta Krisis Integrasi Fiskal ?


Foto : Ilustrasi

Di tengah tuntutan untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah, para pengambil kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta justru menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan yang mengarah pada dugaan anomali tata kelola keuangan, bahkan menimbulkan pertanyaan apakah daerah tersebut berada di ambang kebangkrutan.

Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta, Agus M. Yasin, menganggap bahwa target pendapatan daerah yang ditetapkan hanya sebuah ilusi yang tidak realistis dan merupakan bukti anomali perencanaan. Hal ini menunjukkan fondasi kebijakan yang rapuh dan merusak kredibilitas sistem tata kelola keuangan daerah secara keseluruhan.

Purwakarta menentukan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2026 sebesar Rp1,037 triliun, sementara realisasi PAD tahun 2025 justru terpuruk jauh di bawah 70 persen. Hal ini menjadi contoh nyata dari apa yang disebut sebagai krisis integritas fiskal.

Menurut Agus, target PAD yang sangat tinggi seringkali tidak muncul dari riset potensi yang akurat, melainkan dari dorongan politis untuk menutupi belanja yang sudah membengkak. Target yang tidak berbasis data bukan hanya keliru, tetapi menciptakan ilusi pendapatan seolah-olah Purwakarta mampu memperoleh angka yang besar, padahal kapasitas sistemik pemungutannya tidak pernah mendukung.

Data per 5 Desember 2025 menunjukkan realisasi Pajak Daerah hanya sebesar 68,78% dari target (Rp441,74 miliar dari target Rp642,24 miliar), sedangkan Retribusi Daerah mencapai 64,50% dari target (Rp198,10 miliar dari target Rp307,12 miliar).

“Hal ini menjadi indikator jelas, bahwa mesin pendapatan sedang bermasalah. Namun, di atas fondasi yang rapuh itu justru dibangun target yang berlipat ganda. Di sinilah letak ilusinya, anggaran disusun bukan berdasarkan kemampuan, tetapi untuk menjaga tampilan,” ungkap Agus kepada awak media pada Kamis, 11 Desember 2025.

Agus mengungkapkan bahwa anomali fiskal terjadi ketika angka-angka dalam perencanaan tidak mencerminkan realitas di lapangan. Fenomena ini menandakan lemahnya validitas data pendapatan, pengawasan internal, kapasitas Otoritas Pemerintah Daerah (OPD) penghasil, hingga akuntabilitas politik dalam proses pembahasan anggaran.

“Ketika perencanaan fiskal tidak lagi ditopang oleh kajian potensi, melainkan oleh asumsi atau kepentingan tertentu, maka anggaran berubah menjadi dokumen ‘administratif’, bukan panduan pembangunan. Anomali semacam ini rawan melahirkan defisit struktural, gagal bayar belanja wajib, stagnasi pembangunan, dan hilangnya kepercayaan publik,” katanya.

Menurutnya, tata kelola fiskal yang sehat memerlukan kejujuran sebagai elemen utama. Kejujuran untuk mengakui kapasitas daerah dan menyampaikan kendala, bukan menyembunyikannya di balik angka yang digelembungkan. Kejujuran juga untuk menyusun target berdasarkan data, bukan berdasarkan tekanan politik.

“Jika daerah terus memproduksi angka-angka yang ilusif, maka pemerintah daerah pada dasarnya sedang menipu dirinya sendiri, dan pada akhirnya menipu warganya,” ujarnya.

*DPRD Hanya Tukang Stempel?*

Selain itu, sebesar apa pun peran pemerintah daerah, tata kelola fiskal tidak akan pernah sehat tanpa pengawasan legislatif yang kritis. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak boleh berperan sebagai “rubber stamp” yang hanya menyetujui anggaran tanpa menguji logika di balik angka.

Anomali seperti target PAD triliunan rupiah di tengah realisasi yang terpuruk seharusnya menjadi alarm keras bagi DPRD untuk meminta audit potensi pendapatan, memanggil Tim Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (TAPD) serta OPD penghasil, memeriksa metodologi perhitungan, dan melakukan koreksi struktural.

“Masalah fiskal di daerah bukan hanya persoalan angka, tapi menyangkut kepercayaan publik, keberlangsungan pembangunan, dan kredibilitas pemerintah daerah dalam jangka panjang,” tegasnya.

Jika ilusi pendapatan dibiarkan berlanjut, daerah akan menghadapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) fiktif yang tidak pernah tercapai, belanja strategis yang semakin tertekan, meningkatnya risiko hutang tidak formal, dan ketidakstabilan fiskal yang kronis. Pada level daerah, pola ini mengganggu konsolidasi fiskal, menciptakan ketidaksesuaian antara kebijakan dan kapasitas daerah, serta merusak tata kelola keuangan daerah secara mendasar.

Konkretnya, “ilusi dan anomali fiskal” bukan sekadar fenomena teknis, melainkan sinyal bahwa tata kelola pemerintahan sedang berada di jalur yang salah. Apabila Purwakarta ingin mandiri secara fiskal, maka integritas, transparansi, dan keberanian melakukan koreksi adalah syarat utama.

“Pembangunan tidak mungkin lahir dari angka-angka yang ilusif, tapi lahir dari kebijakan yang jujur, realistis, dan berbasis data. Purwakarta dengan jargon ‘Istimewa’, harus berani memilih: melanjutkan ilusi anggaran, atau memulai pembenahan fiskal yang sesungguhnya,” kata Kang Agus.

Sampai narasi diterbitkan awak media belum berhasil mengkonfirmasi Bapenda dan DPKAD.

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 INFONAS.ID | Bukan Sekedar Berita | All Right Reserved