Foto: Ilustrasi
Bayangkan: 0,02% kontribusi terhadap PDRB Purwakarta di tahun 2023. Sebuah angka kecil yang mewakili sektor pertambangan, jauh tertinggal di belakang industri pengolahan (hampir 60%).
Namun, angka kecil ini menyimpan kisah besar tentang kerusakan lingkungan yang meluas: jalanan hancur, udara tercemar, sumber air menyusut, dan jeritan warga yang tenggelam dalam gemuruh truk tambang. Mengapa? Karena di balik angka kecil itu tersembunyi jaringan kekuasaan yang kompleks dan mengakar.
Kita mulai dari jalanan yang rusak parah. Bukan hanya infrastruktur yang hancur, tetapi juga harapan warga yang tergilas oleh truk-truk tambang yang hilir mudik tanpa henti. Ini adalah gambaran nyata dampak pertambangan yang jauh lebih besar daripada angka 0,02% yang tertulis dalam laporan resmi. Lalu, mengapa hal ini dibiarkan berlanjut?
UU No. 3 Tahun 2020 menarik kendali perizinan pertambangan ke pemerintah pusat. Pemerintah daerah kini hanya bisa memberikan rekomendasi teknis, tanpa kekuatan untuk menghentikan operasi tambang ilegal. Ini menciptakan situasi ironis: kekuasaan lokal dicabut, namun tanggung jawab lingkungan tetap dibebankan kepada mereka. Bayangkan, seperti melempar anak ke sungai dan menyuruhnya berenang tanpa tangan.
Di balik layar, terungkap sebuah jaringan yang lebih kompleks. Riset Kemitraan dan ICW (2022) dan IESR (2023) mengungkap keterkaitan antara pertambangan dan pendanaan politik. Tambang menjadi sumber dana informal, diduga menjadi "ATM diam-diam" bagi elite lokal.
Investigasi Tempo dan Mongabay bahkan menemukan praktik politisi yang mendirikan perusahaan tambang atas nama pihak ketiga. Ini adalah gambaran nyata "oligarki sumber daya," di mana kekuasaan politik dan ekonomi saling terkait erat, mengorbankan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi senjata ampuh untuk memperluas zona pertambangan dan menghapus kawasan lindung. Protes warga seringkali diabaikan dengan alasan pembangunan. RTRW, seharusnya pelindung ruang hidup, justru menjadi alat legal untuk merampas alam dan masa depan masyarakat Purwakarta.
Warga Plered, Sukatani, dan Tegalwaru hidup berdampingan dengan debu, bising, dan ketakutan. Penelitian UIN Jakarta (2023) menunjukkan bahwa pemerintah daerah hanya hadir ketika konflik sudah meletus. Selebihnya, warga dibiarkan berjuang sendiri melawan perusahaan tambang yang beroperasi tanpa kendali.
Jika kontribusi ekonomi pertambangan hanya 0,02%, maka pertanyaan besarnya adalah: siapa yang sebenarnya diuntungkan? Jawabannya mungkin tersembunyi di balik jaringan kekuasaan yang telah diungkap di atas. Permasalahan pertambangan di Purwakarta bukanlah sekadar lubang di tanah, tetapi juga lubang besar dalam tata kelola, keberpihakan negara, dan logika pembangunan yang salah kaprah.
Ketika semua institusi bungkam, warga harus bersuara. Diskusi publik Majelis Konoha LIVE pada 23 Mei 2025 pukul 18.30 WIB di TikTok Live (@majeliskonoha) akan membahas lebih lanjut isu ini: “Tambang atau Alam Purwakarta? Antara Pembiaran atau Semua Sudah Kebagian. Dimanakah Bapak Aing?”
Agus Sanusi, M.Psi
Penulis adalah Aktivis Lembaga Kajian Publik Analitika Purwakarta
FOLLOW THE INFONAS.ID | Bukan Sekedar Berita AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow INFONAS.ID | Bukan Sekedar Berita on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram