-->

Senin, 06 Oktober 2025

Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu: Gotong Royong atau Pungli Gaya Baru?*

Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu: Gotong Royong atau Pungli Gaya Baru?*


 
Foto: Agus M Yasin

Pemerintah Provinsi Jawa Barat menginisiasi program "Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (POE IBU)" melalui Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Barat Nomor 249/PMD.03.04/KESRA. Program ini dipromosikan sebagai gerakan sosial berbasis gotong royong dan kearifan lokal. Namun, muncul pertanyaan mengenai legalitas dan potensi implikasinya terhadap tata kelola pemerintahan yang baik.

Secara hukum administrasi, Surat Edaran bukanlah peraturan perundang-undangan. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengkategorikan surat edaran sebagai beleidsregel, yaitu kebijakan administratif internal yang tidak menciptakan hak atau kewajiban baru bagi masyarakat.

Oleh karena itu, imbauan dalam surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menarik dana dari masyarakat secara formal, terutama melalui perangkat daerah. Pungutan publik harus diatur melalui Peraturan Daerah (Perda), sesuai dengan Pasal 285 dan Pasal 286 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
 
Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum di daerah. Namun, Pasal 65 ayat (3) menegaskan bahwa kewenangan ini harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak boleh membebani masyarakat di luar dasar hukum yang sah.

Gubernur tidak berwenang menetapkan kebijakan yang menimbulkan kewajiban finansial bagi masyarakat, kecuali diatur dalam peraturan perundang-undangan formal seperti Perda atau Pergub yang bersandar pada peraturan yang lebih tinggi.
 
Prinsip akuntabilitas keuangan publik juga menjadi perhatian. Pasal 6 dan 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Pasal 1 angka 58 dan 59 Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah mengharuskan setiap penerimaan dari masyarakat masuk ke kas daerah dan menjadi bagian dari APBD. Pengumpulan dana di luar mekanisme ini berpotensi melanggar prinsip akuntabilitas, transparansi, dan legalitas keuangan negara.
 
*Potensi Pungutan Tidak Sah dan Penurunan Kepercayaan Publik*
 
Pelaksanaan "Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (POE IBU)" melalui perangkat daerah, lembaga pendidikan, atau ASN dapat menimbulkan risiko diterjemahkan sebagai pungutan tidak sah (pungli), yang diatur dalam Pasal 368 KUHP dan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Selain itu, hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap semangat gotong royong, karena kesukarelaan berubah menjadi kewajiban sosial yang dipaksakan.
 
Niat baik akan tetap bermakna jika disertai tata kelola yang benar. Dalam sistem pemerintahan, transparansi dan legalitas lebih penting daripada sekadar semangat solidaritas yang dibungkus kop surat. Program ini akan lebih tepat jika ditempatkan sebagai gerakan sukarela yang dikelola oleh lembaga sosial masyarakat, bukan melalui jalur administratif pemerintahan.
 
*Paradoks Surat Edaran Gubernur*
 
Surat Edaran (SE) Gubernur sering menjadi sorotan karena meskipun bersifat administratif dan tidak memiliki kekuatan hukum memaksa, kerap diperlakukan seolah-olah instruksi wajib. Secara struktural, Gubernur bukanlah atasan Bupati dan Wali Kota. Hubungan antara Gubernur dengan Bupati dan Wali Kota bersifat koordinatif, pembinaan, dan pengawasan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah:
 
- Pasal 38 ayat (1): “Hubungan Gubernur dengan Bupati/Walikota bersifat pembinaan dan pengawasan.”

- Pasal 91 ayat (1): “Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melakukan pembinaan, pengawasan, dan koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan di kabupaten/kota.”
 
Namun, dalam praktiknya, Surat Edaran Gubernur sering diterjemahkan secara keliru oleh birokrasi kabupaten/kota sebagai instruksi wajib yang harus dilaksanakan tanpa ruang kritik. Aparatur daerah seringkali tunduk karena tekanan politik dan kekhawatiran dianggap "melawan provinsi".
 
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran atas kaburnya batas kewenangan antar level pemerintahan. Surat Edaran yang seharusnya berfungsi sebagai alat koordinasi berpotensi menjadi instrumen intervensi yang menggerus semangat otonomi daerah. Otonomi daerah yang diatur tegas dalam konstitusi dapat ditaklukkan oleh selembar surat yang bahkan tidak masuk kategori peraturan perundang-undangan.
 
Jika kecenderungan ini dibiarkan, prinsip desentralisasi pemerintahan dapat bergeser kembali ke arah sentralisasi gaya baru, di mana hubungan koordinasi berubah menjadi kontrol terselubung melalui dokumen non-regulatif.
 
Paradoks Surat Edaran Gubernur ini menjadi refleksi penting bagi tata kelola pemerintahan daerah. Apakah koordinasi masih dimaknai sebagai kemitraan sejajar, atau telah bergeser menjadi intervensi birokratik yang menafikan otonomi daerah? Jawabannya mungkin menunjukkan bahwa Surat Edaran dianggap lebih sakti daripada perundang-undangan, tanpa ruang tawar dan diskusi, hanya patuh atau dianggap membangkang.
 
Program “Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (POE IBU)” lebih tepat ditempatkan sebagai gerakan sukarela yang dikelola oleh lembaga sosial masyarakat, bukan melalui jalur administratif pemerintahan, untuk menghindari potensi masalah hukum dan menjaga kepercayaan publik.


*Agus M. Yasin*

_Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik, tinggal di Purwakarta_

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 INFONAS.ID | Bukan Sekedar Berita | All Right Reserved