-->

Jumat, 13 Juni 2025

Wabup Purwakarta Memarahi Orang di Depan Kamera, Aktivis: Itu Pelecehan, Bukan Kepemimpinan

Wabup Purwakarta Memarahi Orang di Depan Kamera, Aktivis: Itu Pelecehan, Bukan Kepemimpinan



Gambar : Potongan layar saat Wakil Bupati memarahi Orang

Purwakarta – Sebuah video yang menunjukkan Wakil Bupati Purwakarta, yang akrab disapa Abang Ijo, tengah memarahi pihak sekolah di Kecamatan Sukasari viral di media sosial. Dalam tayangan singkat tersebut, sang wakil bupati melontarkan kata-kata keras dan bernada tinggi terkait dugaan penyelewengan dana Program Indonesia Pintar (PIP). Aksinya terekam jelas dan kemudian dipublikasikan ke ruang publik.

Menanggapi hal ini, aktivis muda dari Analitika Purwakarta, Risky Widya Tama, menyampaikan kritik tajam. Ia menilai tindakan tersebut bukanlah bentuk ketegasan, melainkan bentuk public shaming—mempermalukan seseorang di hadapan publik yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan terhadap pihak yang secara struktural lebih lemah.

“Ini bukan kepemimpinan. Ini pertunjukan kuasa. Memarahi orang di depan kamera, dalam posisi yang tidak seimbang secara sosial maupun institusional, adalah bentuk perendahan martabat. Apalagi jika disebarkan secara sengaja,” ujar Risky kepada Madilognews, Jumat (13/6).

Risky menambahkan bahwa seorang pejabat publik seharusnya menyelesaikan dugaan pelanggaran melalui mekanisme yang etis dan tertutup, bukan dengan mengumbar amarah di depan umum. “Kalau memang ada dugaan penyimpangan, benahi lewat audit dan klarifikasi resmi. Bukan lewat gaya konfrontatif yang direkam kamera,” tegasnya.

Menurutnya, praktik semacam ini tidak hanya berdampak pada individu yang dimarahi, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan di lingkungan pendidikan. Guru-guru bisa merasa terancam jika kesalahan teknis atau administratif langsung direspons dengan tekanan dan sorotan publik.

“Kita bukan sedang membela penyelewengan, kalau itu memang ada. Tapi kita bicara soal cara menyelesaikannya. Dan yang dilakukan Wabup jelas mencederai prinsip etika kepemimpinan,” lanjutnya.

Risky juga mempertanyakan motif di balik publikasi video tersebut. “Kalau tujuannya benar-benar ingin menyelesaikan masalah, kenapa harus direkam dan diviralkan? Ini lebih dekat pada pencitraan daripada perbaikan sistemik,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa budaya mempermalukan di ruang publik, apalagi oleh pemegang kekuasaan, dapat membentuk pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang berbasis dominasi, bukan pelayanan. “Kalau pejabat merasa berhak memarahi siapa saja di depan kamera, maka kita sedang kehilangan etika dasar dalam demokrasi: kesetaraan martabat,” ujar Risky. (***)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 INFONAS.ID | Bukan Sekedar Berita | All Right Reserved