-->

Kamis, 05 Juni 2025

Ilusi Anggaran dan Kenyataan Fiskal: Mengurai Kerapuhan Tata Kelola Keuangan Purwakarta

Ilusi Anggaran dan Kenyataan Fiskal: Mengurai Kerapuhan Tata Kelola Keuangan Purwakarta


gambar : Ilustrasi 

Dalam satu tahun fiskal, sebuah pemerintahan bisa tampak sibuk membangun, membelanjakan, dan menggeliatkan roda pembangunan. Tetapi ketika Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dirilis, kita melihat wajah lain yang tersembunyi di balik struktur APBD: ilusi perencanaan, pengabaian pada realitas, dan absennya kehati-hatian.

LHP BPK Tahun 2024 untuk Kabupaten Purwakarta memperlihatkan sebuah pola pengelolaan keuangan yang tidak sehat. Bukan hanya soal pelanggaran teknis, tapi persoalan serius dalam cara berpikir fiskal: terlalu percaya diri dalam menyusun target pendapatan, terlalu longgar dalam mengalokasikan belanja, dan terlalu abai dalam memastikan akuntabilitas penggunaan dana.

*Ketika Anggaran Lebih Percaya Diri daripada Realitas*

BPK mencatat bahwa target Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahunnya disusun tanpa mengacu pada capaian riil tahun-tahun sebelumnya. Ini bukan sekadar optimisme, tapi pertaruhan. Misalnya, target BPHTB pada 2024 dinaikkan hingga 373% dari realisasi tahun sebelumnya. Hasilnya? Yang terealisasi hanya 41%.

Target yang terlalu tinggi membuat postur anggaran tampak ambisius di atas kertas. Tapi ketika PAD tak tercapai, belanja yang sudah disahkan tetap berjalan. Maka lahirlah utang jangka pendek dan tunggakan pembayaran. Seolah Pemkab menjanjikan makan besar, tapi lupa isi dompetnya kosong.

*Dana Khusus yang Tak Lagi Spesifik*

Temuan BPK juga menunjukkan penyalahgunaan penggunaan dana yang ditentukan peruntukannya, seperti DAU-SG, DBH Sawit, dan SILPA DAK. Totalnya mencapai Rp38,3 miliar. Dana ini digunakan untuk belanja gaji, proyek jalan, dan kebutuhan operasional lain. Padahal seharusnya dana tersebut hanya boleh dipakai untuk program prioritas bidang tertentu seperti kesehatan atau pendidikan.

Ini bukan soal fleksibilitas, tapi soal integritas fiskal. Ketika pemerintah pusat memberi dana dengan mandat spesifik, maka menyimpangkannya sama saja dengan menyepelekan amanat pembangunan nasional.

*Belanja yang Salah Tempat*

Permasalahan berikutnya terletak pada penganggaran belanja yang tidak sesuai klasifikasi. Sebanyak Rp6,17 miliar dianggarkan sebagai belanja barang atau modal, tetapi realisasinya justru tak menghasilkan aset atau malah menyalahi fungsi.

Salah satunya, Pemkab membangun atau merehabilitasi gedung untuk instansi vertikal menggunakan anggaran barang yang seharusnya diklasifikasikan sebagai hibah. Dalam logika akuntansi publik, ini adalah pelanggaran mendasar yang merusak kredibilitas laporan keuangan.

*Pengawasan Pajak yang Gagal Jalan*

Satu lagi catatan penting: pengawasan terhadap kepatuhan pajak daerah sangat lemah. Pemkab sebenarnya memiliki alat bantu bernama tapping box—perangkat yang merekam transaksi pajak hotel, restoran, hiburan, dan parkir. Tapi dari 1.644 Wajib Pajak, hanya 63 yang aktif memakai alat ini. Sisanya? Gelap data.

Tanpa data yang kuat, pajak hanya bergantung pada pelaporan sukarela. Maka tak mengherankan jika BPK menemukan selisih data pajak yang besar antara laporan WP dan data tapping box. Bahkan ada hotel yang tidak mencatat transaksi kegiatan Pemkab sendiri—dan tak membayar pajaknya.

*Tanda-Tanda Ketidakdewasaan Fiskal*

Secara keseluruhan, apa yang bisa kita simpulkan?

Pertama, sistem penganggaran masih lemah dalam disiplin fiskal. Belanja tidak dikaitkan dengan kemampuan riil pendapatan. Kedua, tata kelola kas tidak dijaga dengan prinsip kehati-hatian. Dana khusus dipakai semaunya. Ketiga, fungsi pengawasan dan evaluasi tidak berjalan. Baik internal (oleh TAPD dan BKAD) maupun eksternal (terhadap WP) lemah dalam kontrol dan koreksi.

Permasalahan ini tidak bisa hanya dianggap sebagai kesalahan teknis. Ia adalah refleksi dari krisis cara berpikir dalam birokrasi anggaran. Krisis yang jika dibiarkan akan menjelma menjadi beban fiskal jangka panjang—yang akhirnya dibayar mahal oleh masyarakat.

*Perlu Perubahan Cara Pandang, Bukan Sekadar Tambal Sulam*

LHP BPK telah memberikan peta masalah. Kini bola ada di tangan Bupati, TAPD, dan seluruh jajaran Pemkab Purwakarta. Pertanyaannya: akankah mereka belajar dan memperbaiki, ataukah terus mengulang?

Perubahan tidak cukup hanya dengan surat pernyataan akan menindaklanjuti rekomendasi. Diperlukan revolusi cara berpikir anggaran: dari yang semata mengejar serapan, menjadi pengelolaan fiskal yang berbasis pada akurasi, kehati-hatian, dan kejujuran.

*Catatan akhir:* Transparansi fiskal bukan cuma kewajiban akuntansi. Ia adalah cermin integritas kekuasaan. Dan seperti yang ditunjukkan LHP ini, cermin itu kini retak.

Penulis: Agus Sanusi, M.Psi
Aktivis Pada Lembaga Kajian Kebijakan Publik Analitika Purwakarta

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 INFONAS.ID | Bukan Sekedar Berita | All Right Reserved