Bayang-bayang angka Rp 2,7 triliun membayangi Kabupaten Purwakarta. Kenaikan APBD Perubahan 2025 yang signifikan ini memicu pertanyaan: apakah ini simbol kekuatan fiskal daerah atau sekadar ilusi belanja yang rapuh?
Pertanyaan ini semakin relevan mengingat Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) Purwakarta yang masih rendah dan sejumlah faktor struktural serta kelembagaan yang melemahkan kemampuan daerah dalam mengelola keuangan secara berkelanjutan.
Ironisnya, kenaikan signifikan ini terjadi di tengah sistem keuangan daerah yang masih lemah. Kebijakan anggaran yang menunjukkan peningkatan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Rp 810 miliar menjadi Rp 945 miliar, dan peningkatan belanja daerah, patut dipertanyakan produktivitasnya.
Kenaikan ini terkesan sebagai intervensi kebijakan yang dipaksakan, bukan sebagai tuntunan atas kebutuhan riil daerah. Kemampuan inovasi dan sistem keuangan daerah yang belum mendukung pertumbuhan dan daya saing produktif, serta rendahnya kemampuan komparatif dan kapasitas pembangunan, semakin mempertegas keraguan tersebut.
Risiko kenaikan APBDP ini semakin besar mengingat asumsi pendapatan yang terkesan terlalu optimis. Tanpa penguatan PAD yang nyata, efisiensi belanja, dan fokus pada kebutuhan riil masyarakat, kenaikan ini hanya akan menjadi simbol kebanggaan semu yang menciptakan ilusi pembangunan.
Realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Per Mei 2025, total realisasi belanja baru mencapai 20,7% dari pagu, dan belanja modal hanya terserap 1,6% dari total pagu Rp 140 miliar.
Rasio PAD terhadap APBD yang masih kurang dari 30% menjadi perhatian serius. Apakah kenaikan APBDP ini akan menjamin kesinambungan pembangunan, atau justru akan menciptakan siklus hutang daerah yang berulang?
Kecurigaan ini semakin kuat mengingat temuan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas APBD 2023 yang menunjukkan defisit riil sebesar Rp 105,8 miliar, meskipun sebelumnya dilaporkan adanya sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa).
Sementara, utang belanja daerah sebesar Rp 167,1 miliar belum terselesaikan, dan tambahan utang jangka pendek sebesar Rp 28,2 miliar juga masih tercatat.
Profil fiskal Kabupaten Purwakarta TA 2025 memperlihatkan ketergantungan yang tinggi pada transfer pusat (71,6%), sementara PAD hanya menyumbang 28,4% dengan realisasi per Mei yang masih rendah (~21%). Realisasi belanja modal yang sangat minim (1,6%) mencerminkan lemahnya kapasitas belanja pembangunan, sementara belanja operasional mendominasi.
Kenaikan APBDP 2025 hanya akan bermakna jika diarahkan untuk memperkuat kualitas pelayanan publik dan daya saing daerah. Namun, dalam perspektif prognosis fiskal, kenaikan ini menyimpan risiko tinggi terhadap keberlanjutan fiskal jika tidak disertai penguatan PAD, efisiensi belanja, dan kontrol terhadap pembiayaan.
Peningkatan APBD yang dipaksakan di tengah lemahnya realisasi PAD dan ketergantungan transfer berisiko menimbulkan utang daerah yang tidak produktif, berujung pada menyempitnya ruang pembangunan, hilangnya kepercayaan publik, dan potensi masalah hukum.
*Agus Yasin*
_Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta._
FOLLOW THE INFONAS.ID | Bukan Sekedar Berita AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow INFONAS.ID | Bukan Sekedar Berita on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram